Royalti 1 Milyar? Mungkin Kok!



Beberapa hari ini ada perbincangan menarik di kalangan para penulis, yaitu tentang kisah penulis X yang kabarnya mendapatkan royalti dari buku yang dia tulis sampai pada angka satu setengah milyar rupiah. Beberapa penulis kenalan men-japri saya, menanyakan, mungkin nggak sih, ada penulis mendapatkan royalti sampai sebesar itu di tengah iklim perbukuan yang “lesu” seperti saat ini? Apalagi, si penulis juga bukan dalam posisi “top brand” semacam Dee, Andrea Hirata atau Tere Liye.

Saya jawab: mungkin saja. Why not? Sebagai perbandingan, di Indiva Media Kreasi, penerbit tempat saya bekerja, ada beberapa produk angka penjualannya menembus cukup fantastis. Misal, Kumpulan Juz 28, 29 dan 30 yang hingga kini sudah terjual sekitar 500.000 eksemplar. Atau Al-Ma’tsurat yang melebihi satu juta eksemplar. Harga produk tersebut cukup murah. Kumpulan Juz misalnya, dibandrol Rp 19.000,- Sekarang hitung, jika Kumpulan Juz diambil royalti per buku 10%, berapa royalti yang akan diterima si penulis? Rp 950.000.000,- hampir 1 milyar, kan? Tetapi, memang sih, produk itu kebetulan bukan produk dengan royalti, tetapi hasil dari kerja tim yang dibayar secara putus.  

Di kota saya juga ada seorang penulis yang menerbitkan sebuah buku berisi teknik membaca untuk anak TK/SD awal. Harga bukunya murah sekali. Kualitas layout dan cetakan juga masih perlu dibenahi. Tetapi, buku tersebut terjual hingga ratusan ribu eksemplar. Hingga kini, buku tersebut terus dicetak ulang. Dari royalti yang didapatkan, yang mencapai ratusan juta rupiah, kabarnya si penulis mampu mensubsidi lembaga pendidikan usia dini yang dia kelola.

Jadi, kalau ada yang mengatakan, si X bisa mendapatkan royalti sekian milyar, menurut saya bukan sesuatu yang ajaib, meski si X “hanya” pendatang baru di dunia perbukuan.

Lalu, di mana letak rahasia dia mampu meraih royalti sebesar itu? Jujur, saya belum mengamati dan menganalisis lebih lanjut terkait kiprah si penulis. Hanya, saya mendengar beliau seorang pekerja keras dan ikut terlibat langsung dalam proses pemasaran buku-bukunya. Well, itu poin lebih. Tetapi, ada satu hal yang dalam bayangan kasar saya menjadi salah satu sebab penting. Yaitu tema yang ditulis oleh si penulis tersebut memang tema yang dicari dan dibutuhkan oleh banyak orang.

Memang di pasar buku-buku kita, ada buku-buku yang sifatnya selalu dibutuhkan. Misal, kamus, buku belajar membaca (baik alphabet/latin maupun arab/Al-Quran), buku-buku panduan (misal panduan shalat lengkap, buku rangkuman ilmu pengetahuan, panduan ibadah, panduan belajar anak), buku pelajaran dan sebagainya. Buku-buku babon semacam Al-Quran, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Riyadush-Shalihin, Bukhari Muslim, atau bagi yang non muslim misalnya Injil, adalah buku yang selalu dicari. Bahkan buku agama referensi dari harakah yang spesifik juga selalu dicari. Dulu, saat masih lajang, saya bekerja di penerbit Era Intermedia. Ada satu buku yang saat itu (awal tahun 2000-an) sudah mencapai penjualan sekitar 100.000 eksemplar, yaitu Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin karya Syaikh Hasan Al-Banna. Sampai saat ini, buku tersebut masih berada di barisan buku best seller penerbit tersebut.

Buku-buku jenis tersebut, sering disebut sebagai buku “antimarketing”. Kata antimarketing saya kasih tanda petik, ya, karena istilah tersebut sebenarnya kurang tepat. Menurut Kotler, marketing atau pemasaran adalah “suatu proses sosial pada mana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain”. Karena itu, kita mengenal apa yang disebut dengan Marketing Mix, yang lazimnya terdiri dari 4P alias Product, Price, Place and Promotion. Buku-buku “antimarketing” tersebut tentu masih menggunakan 3P yang lain, tetapi barangkali tidak membutuhkan promosi yang terlalu gencar untuk bisa mendapatkan penjualan maksimal. 

Bagaimana membikin buku “antimarketing”? Tentu membutuhkan kejelian dari calon produsen dalam mengendus produk apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh pembeli. Jika Anda ingin menulis buku yang selalu dicari, cobalah selidiki dengan cermat, potensi-potensi pasar yang belum digarap dengan baik. Kalaupun produk-produk tersebut sudah ada di pasar, Anda harus masuk dengan memberi value yang lebih dari produk lain. Misal, saat ini ada buku “Panduan Shalat Lengkap” yang sudah dicetak ulang puluhan bahkan ratusan kali. Ketika kita lihat, buku tersebut sangat sederhana. Maka Anda bisa mencoba membikin buku semacam dengan bahasa yang lebih bagus, ilustrasi dan kemasan yang lebih menarik.

Tetapi, tentu saja hal ini sangat terkait dengan segmentasi ataupun positioning dari seorang produsen (dalam hal ini adalah penulis). Mengapa sebuah segmen atau positioning dipilih? Jawabannya bisa jadi beragam dan sangat subyektif. Tetapi, secara otomatis, segmen tercipta karena sangat berkait dengan passion dan kecenderungan si penulis pada suatu bidang tertentu. Orang yang suka masak, dia pasti akan lebih senang menulis buku tentang memasak. Orang yang suka baca sejarah, kalaupun menulis novel, karyanya akan sangat “sejarah”. Sangat sulit seorang penulis bisa berkembang, jika dia hanya mencari-cari job tulisan tanpa memadukan dengan passion dan keahlian.

Lantas, setelah menentukan segmen, Anda harus paham bagaimana karakter segmen pembaca Anda. Misalnya segmen pasar saya adalah kalangan muda terdidik berusia sekitar 18-30 tahun, biasanya dia aktivis, senang dengan hal-hal yang bersifat filosofis, analitis, suka berpikir, dan senang mendapatkan informasi baru. Saya sadar sepenuhnya, bahwa pasar saya ini tidak terlalu luas, tetapi mereka adalah pasar yang setia. Jadi, ketika buku-buku saya ternyata bisa terjual 10.000 eksemplar bagi saya itu sudah jumlah yang optimal. Sementara ini, saya lebih senang memberikan yang terbaik, sebisa saya, untuk memuaskan segmen ini. Saya tidak terlalu tertarik untuk memperluas segmen, karena itu berarti saya harus meninggalkan kekhasan saya. Tak kurang-kurang yang meminta saya untuk membuat bacaan yang lebih “easy reading”, tetapi saya menolak. Selain saya sendiri tidak puas, saya yakin pembaca setia saya juga pasti akan heboh dan protes.

Jadi, menulis memang (semestinya) tak hanya melulu soal iming-iming royalti. Jika memang kecenderungan, keahlian, dan passion Anda memang kebetulan pada bidang yang banyak dibutuhkan orang, itu berkah buat Anda. Sebagai contoh, K.H. As’ad Humam, beliau adalah pakar pengajaran baca Al-Quran. Selama puluhan tahun mendedikasikan diri memberantas buta huruf Al-Quran dan menginspirasi berdirinya ratusan ribu Taman Pendidikan Al-Quran se-Indonesia. Lalu beliau menyusun Metode Iqro yang terjual hingga puluhan juta eksemplar, itu suatu hal yang luar biasa. Jika Anda memang memiliki kesamaan seperti beliau, saya ucapkan selamat. Tetapi jika Anda memang tipe penulis segmented seperti saya, tak usah bersedih jika Anda tak bisa mendulang royalti hingga milyaran rupiah ke rekening Anda. Setuju? (@afifahafra79).


8 komentar untuk "Royalti 1 Milyar? Mungkin Kok!"

Comment Author Avatar
Setuju pisannn 😊terima kasih sharing ilmunya mbakyu 😍
Comment Author Avatar
Sama-sama mbak...
Minat nulis buku "anti marketing"? :-D
Comment Author Avatar
Manggut-manggut. Masih belajar, mudah-mudahan apa yang sudah diimpikan terkejar. Terima kasih sharingnya, Mbak ...
Comment Author Avatar
Sama2 dik, saling memotivasi
Comment Author Avatar
Sepakat, mb. Jadi ngerti kenapa penulis X bisa dapat royalti segitu. Mungkin faktor loyalitas juga. Hehe

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!