Widget HTML #1

Menulis Cerpen, Yuk! (1): Apa sih Cerpen Itu?


Apa sih cerpen itu? Sahabat semua punya jawaban?

Bagi saya, tak terlalu penting sebenarnya berkutat dalam definisi. Apa itu cerpen, apa itu cerbung, apa itu novel, apa itu puisi. Yang paling mendasar menurut saya adalah, ayo segera nulis cerpen, cerbung, novel ataupun puisi. 

Kebanyakan aturan justru membelenggu. Malah jadi suka mati gaya. Persis seperti pengakuan Haji Pidie Baiq, novelis superngocol saat bersama-sama menjadi pembicara di talkshow Kepenulisan Science Fiction Kampus UNS beberapa tahun yang lalu, "Saya justru bisa nulis setelah memahami bahwa kita nggak perlu tunduk pada aturan-aturan (kepenulisan--pen.)."

Dalam acara-acara resmi semacam Munas, komisi paling alot biasanya yang membahas aturan-aturan keorganisasian, seperti AD/ART. Di FLP pun begitu. Dari 4 kali Munas, komisi A yang membahas AD/ART bisa sampai subuh tidak tidur, lho. Qodarullah, saya belum pernah masuk komisi ini. Tapi, kalau ngintip sesaat, rasanya ikut pusing dan cekot-cekot ini kepala! Terlihat jelas, betapa untuk membahas berbagai definisi, redaksional dan sebagainya, anggota komisi ini bisa begitu detil membuat analisis-analisis. Betapa tabah mereka!

Bukan berarti definisi nggak penting sih... tetap penting. Tetapi ya itu, orang globalis macam saya, tampaknya tak cocok membahas hal-hal semacam itu. 

Akan tetapi, baiklah... jika membahas definisi itu kalian butuhkan, mari kita nukil beberapa pendapat para tokoh di bawah ini. Dengan satu catatan, kalian tak perlu terlalu capek membuang-buang waktu untuk mempelototi definisi ini apalagi menghapalkannya. Di dunia nyata, meskipun kalian mungkin bisa menyebut di luar kepala, tidak akan ada orang yang terkesima ketika kalian melakukannya. Yang ditunggu oleh mereka, adalah karya nyata kalian. Bukan sekadar betapa hebatnya kita mengurai teori-teori.

Okay?!

Dalam buku ‘Menulis Secara Populer’, Ismail Marahaimin menegaskan bahwa cerpen itu bukan penggalan sebuah novel, juga bukan novel yang diperpendek. Cerpen dan novel, adalah 2 buah karya dengan karakter sendiri-sendiri. 

Jadi, salah besar jika ada yang mengatakan bahwa untuk bisa menjadi novelis, pertama belajarlah menulis cerpen. Bahwa menulis cerpen itu adalah kerjaan para pemula, sedangkan menulis novel bisa dilakukan bagi yang lebih ahli. Bukan, itu keliru! Cerpen bukanlah ajang latihan menuju novel. Kalau menulis novel membutuhkan napas panjang, konsistensi dan kedisiplinan lebih, sih, mungkin ada benarnya. 

Tetapi yang jelas, banyak para novelis kesulitan menulis cerpen, sebagaimana banyak cerpenis sulit menulis novel. Karena keduanya memang sama-sama karya sastra yang butuh 'jam terbang' yang tinggi agar pelakunya bisa fasih menuliskannya.

Saya termasuk terbiasa menulis keduanya, baik cerpen maupun novel. Namun demikian, seringkali, muncul kesulitan. Ketika terlalu asyik menulis cerpen, rasanya gagap saat menggarap novel. Demikian juga sebaliknya. Terbiasa dengan gaya penulisan yang panjang, tiba-tiba harus mencari kalimat yang efisien dan multifungsi saat menggarap cerpen. Kadang kayak mengalami semacam 'jetlag' juga.

Ada yang mengatakan bahwa cerpen adalah tulisan fiksi yang panjangnya sekitar 500-10.000 kata. Ya, wajar si, namanya juga cerita pendek, tentu kuantitas kata juga menjadi ukuran. Namun, sebenarnya jumlah kata itu merupakan konsekuensi dari plot tunggal yang merupakan ciri khas utama sebuah cerpen.

Sedangkan Edgar Allan Poe, si Bapak Cerpen, mengatakan bahwa prose tale (cerpen dalam sebutan Poe), adalah narasi yang bisa dibaca dalam sekali duduk, dengan lama waktu setengah hingga 2 jam.

Akan tetapi, batasan yang paling primer, menurut saya adalah apa yang disebutkan oleh Poe bahwa sebuah cerpen itu harus unik dan berefek tunggal. Untuk membentuk efek tunggal itu, plot dan karakter harus langsung diwujudkan dalam tindakan, bukan dalam deskripsi atau komentar tulisannya. Karena pendek, maka cerpen memiliki ruang yang padat. Dengan sendirinya, seorang cerpenis harus ketat dalam memilih kata-kata.

Jadi, dalam sebuah cerpen, 'tidak diizinkan' untuk membuat konflik ganda. Misalnya Anda menulis tentang tertusuk jarum, ya sudah... ceritakan mulai dari kronologis tertusuk jarum, rasa sakitnya, infeksi yang disebabkan, sampai cara pengobatannya. Anda tidak perlu menambah konflik lain, misalnya saat Anda tengah mengobati sakit, tiba-tiba Anda disengat kalajengking dan akhirnya Anda pun bercerita tentang kalajengking, rasanya disengat kalajengking, pengobatannya dan sebagainya.

Konflik tunggal inilah, faktor yang membuat cerpen menjadi pendek dan disebut sebagai cerita pendek. Karena apa yang diceritakan memang terbatas, sehingga tidak membutuhkan ruang yang terlalu lebar.

Cukup menarik definisi cerpen menurut kritikus sastra Hans Bague Jassin, atau yang sering disingkat sebagai H.B. Jassin. Menurut beliau, cerpen adalah sebuah cerita singkat yang harus memiliki bagian terpenting yakni perkenalan, pertikaian dan penyelesaian. 

Tiga hal ini, perkenalan, pertikaian (konflik) dan penyelesaian (resolusi), sebenarnya merupakan plot sederhana yang paling klasik, dan merupakan konsep dasar dalam menulis sebuh fiksi. Dalam kesempatan lain, saya sudah membahas kaidah ini. 

Dari berbagai definisi di atas, kita bisa coba simpulkan, apa sih ciri-ciri cerpen?
1. Jumlah kata antara 500-10.000, ruang padat
2. Dapat dibaca sekali duduk, dengan waktu 30 menit hingga 2 jam
3. Bukan penggalan novel, bukan novel yang diperpendek
4. Harus unik dan berefek tunggal 
5. Konflik dan plot tunggal
6. Plot dan karakter diwujudkan dalam tindakan
7. Terdiri dari 3 bagian, yaitu perkenalan, pertikaian dan penyelesaian.

Nah, sudah jelas kan, apa sih cerpen itu? Masih penasaran? Yuk ikuti kelanjutan artikel ini!



4 komentar untuk "Menulis Cerpen, Yuk! (1): Apa sih Cerpen Itu?"

Comment Author Avatar
Bagaimana komentar Anda jika ada cerpen sepanjang 25 halaman?
Comment Author Avatar
Sulit untuk mewujudkan plot dan efek tunggal jika terlalu banyak halaman
Comment Author Avatar
Bagaimana dengan kemunculan pentigraf(cerpen tiga paragraf), cermin, atau cerpen yang tidak mau terikat dengan batasan jumlah kata dsb?
Begitu juga cerpen dengan cerita-cerita yang abstrak.
Comment Author Avatar
Sebagai sebuah produk kreativitas, tentu sah-sah saja. Namanya kreativitas kan boleh-boleh saja berkembang. Tetapi, untuk berkembang menjadi sebuah genre, tentu dibutuhkan kajian lebih mendalam lagi. Barangkali, nanti akan lahir genre baru: fiksi mini misalnya :-)

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!