Widget HTML #1

Ibu Patmi, Kartini Kendeng, dan Aksi Pasung Semen Kaum Samin

Ibu Patmi (berkerudung biru) sumber foto: www.kompas.com
Tentu sobat semua masih ingat, kasus ini bukan? Atau malah lupa, saking banyaknya nano-nano berita di negeri ini? Ada berita lucu, berita sedih, berita aneh, hingga berita yang bikin meradang. Baiklah, saya ingatkan lagi, ya?

Kasus wafatnya Ibu Patmi sangat menarik perhatian publik. Pasalnya, meski dinyatakan meninggal karena serangan jantung, sesaat sebelumnya, Ibu berusia 48 tahun itu baru melakukan aksi di depan istana negara. Ibu Patmi termasuk dalam 55 warga Kendeng yang memasung dirinya dengan cor semen di depan Istana Negara pada 20 Maret 2017 (Kompas.com, 21/3/2017). Mereka melakukan aksi damai dengan tujuan agar izin operasi PT Semen Indonesia di pegunungan Kendeng dicabut.

Aksi mengecor kaki dengan semen juga pernah berlangsung tahun lalu. Sembilan perempuan dari Kendeng, duduk di atas kursi, kaki dicor, mengenakan caping untuk menahan terik matahari di depan istana Negara. Karena aksi berlangsung pada bulan April, masyarakat menyebut mereka sebagai Sembilan Kartini Kendeng (Femina.co.id, 14 Apr 2016).

Perlawanan masyarakat Kendeng sebenarnya sudah berjalan lama. Tujuh tahun yang lalu, saya melakukan perjalanan dari arah Grobogan menuju Pati. Saat melewati melewati Pegunungan Kendeng, yang indah itu, saya sempat takjub. Namun, ketakjuban saya berubah menjadi rasa cemas, saat almarhum Mubarok, ketua Forum Lingkar Pena Pati saat itu mengatakan, “Mau dibangun pabrik semen di sana. Tapi ditentang oleh masyarakat Samin yang tinggal di sana.”


Aksi Pasung Semen (Foto: JPPN.com)

Penolakan Masyarakat Kendeng, yang kebanyakan adalah Kaum Samin, bukan tanpa alasan. Menurut pada akademisi, salah satunya Dr. Surono, lokasi pembuatan pabrik semen tersebut adalah kawasan Cekungan Air Tanah yang menjadi cadangan air di lokasi Pegunungan Kendeng (Tempo, 18 September 2015).

Berdasarkan Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-7 yang diselenggarakan Jurusan teknik Geologi UGM, 30-31 Oktober 2014, Pegunungan Karst Kendeng Utara Kabupaten Rembang  merupakan kawasan imbuhan air atau Cekungan Air Tanah (CAT) terbesar di Kabupaten Rembang. Jika kawasan tersebut didirikan pabrik semen, maka akan berpotensi menghilangkan sumber daya air tersebut. Masyarakat Samin sebagai warga yang menempati kawasan tersebut, tentu akan menjadi yang pertama terkena dampak tersebut.

Sejarah Berdirinya Gerakan Samin
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, mengapa orang-orang Samin begitu konsisten melakukan perlawanan? Banyak anggapan bahwa hal tersebut terjadi karena provokasi para aktivis lingkungan dan HAM. Menurut hemat saya, anggapan tersebut keliru.

Marwati J. Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, menyebutkan bahwa gerakan Samin didirikan oleh Surontiko Samin (di referensi lain disebut sebagai Samin Surosentiko) pada awal tahun 1900. Residen Rembang, pada tahun 1903 melaporkan kepada pemerintah Hindia Belanda, bahwa di kawasannya terdapat sekitar 700 orang Samin yang melakukan pembangkangan terhadap Belanda. Mereka menolak menyerahkan padi kepada Belanda dan tidak mau mengambil kayu di hutan-hutan yang dikuasai Belanda.

Berita pembangkangan kaum Samin semakin santer, dan berkembang isu bahwa Surontiko hendak memberontak. Meski beberapa kalangan saat itu menyatakan bahwa gerakan Samin tidak berbahaya, Belanda tetap menangkap Surontiko dan 8 pengikutnya, dan membuangnya ke Padang hingga meninggal pada tahun 1914. Namun begitu, menurut Marwati J. Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, gerakan Samin tidak tumbang. Jika gerakan-gerakan sosial banyak yang berumur singkat, gerakan ini telah dimulai pada abad ke-19 dan masih hidup hingga saat ini.

Namun, pada prinsipnya, gerakan Samin adalah gerakan tradisional yang pasif. Hal ini ditegaskan Moh.Rosyid, dalam bukunya, Samin Kudus Barsahaja Di Tengah Asketisme Lokal, bahwa Kaum Samin anti melakukan serangan atau agresi. Mereka menolak membayar pajak kepada Belanda, karena pajak tidak digunakan untuk kepentingan masyarakat pribumi, tetapi hanya untuk memakmurkan penjajah. Dan mereka melawan dengan membangkang, tapi tanpa senjata, sehingga disebut sebagai “Gerakan Sirep.”

Sedulur Sikep
Kearifan lokal masyarakat Samin lebih dikenal dengan nama Sedulur Sikep, yakni bagaimana mereka berusaha konsisten untuk menjalankan ajaran-ajaran leluhurnya. Salah satu mengapa mereka melawan pendirian Pabrik Semen di Kendeng, adalah karena mereka merasa diamanahi oleh Sunan Muria untuk menjaga kelestarian Pegunungan Kendeng. Melihat konsistensi mereka yang terus teguh menjaga ajaran Saminisme, meski Ibu Patmi telah wafat, saya kira perlawanan masyarakat Kendeng akan tetap berjalan.

Sebenarnya, konsistensi masyarakat dalam memegang teguh kearifan lokalnya juga diperlihatkan di lokasi lain. Misalnya di kawasan Lereng Merapi. Salah satu kesulitan pemerintah untuk mengevakuasi warga dari Merapi adalah karena mereka menganggap bahwa Merapi adalah pemberi kesuburan tanah bagi mereka. Meski setiap 4 tahun sekali Merapi meletus dan memakan korban, mereka tetap tinggal di sana dan tak mau mengungsi.

Di saat usaha-usaha eksploitasi ekonomi semakin masif, ada baiknya pihak terkait berusaha memahami kearifan lokal tersebut dan mulai menyadari, bahwa kemajuan pembangunan fisik, angka-angka pertumbuhan ekonomi dan sejenisnya, bukanlah segalanya. 
 

2 komentar untuk "Ibu Patmi, Kartini Kendeng, dan Aksi Pasung Semen Kaum Samin"

Comment Author Avatar
Pengertian orang Samin itu sendiri apa ya Mbak? Ajarannya atau keturunan Pak Samin?
Comment Author Avatar
Pengikut Samin Surontiko... bukan keturunan Samin
Kalau arti samin sendiri, masih cari-cari. Kalau di KBBI artinya minyak :-)

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!