Mengapa Kita Harus Menikah?
Mengapa kita memutuskan untuk menikah? Banyak
di antara kita tidak memahami secara pasti apa jawabannya. Menikah karena
biasanya orang yang sudah beranjak dewasa, memang akan menikah. Menikah karena
bertemu seseorang, jatuh cinta, dan ingin bersatu. Menikah karena didesak orang
tua. Menikah karena paksaan lingkungan. Menikah karena terpaksa harus menikah dengan bebagai alasan...
Jika hanya itu alasannya, kita seperti
membangun rumah di atas rawa-rawa. Pondasinya begitu goyah. Jadi, apa
sebenarnya yang membuat kita memutuskan untuk menikah? Setidaknya ada beberapa
motivasi yang mendasari.
1. Menikah
adalah Separuh Agama
Rasulullah bersabda, “Siapa yang diberi karunia oleh Allah seorang
istri yang solihah, berarti Allah telah menolongnya untuk menyempurnakan setengah
agamanya. Karena itu, bertaqwalah kepada Allah setengah sisanya.” (HR. Baihaqi No.1916).
Penjelasan hadis tersebut diungkap
oleh Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, bahwa hadist tersebut merupakan isyarat
tentang keutamaan nikah, yaitu dalam rangka melindungi diri dari penyimpangan,
agar terhindar dari kerusakan agama dan manusia itu sendiri, yang pada umumnya bersumber
pada kemaluan dan perutnya. Dengan menikah, maka salah satu telah terpenuhi.
Selain itu, sudah
sangat jelas, bahwa banyak sekali aturan dalam agama yang tidak bisa kita
amalkan saat kita masih melajang. Maka, menikah, kata rasulullah, adalah
penggenapan separuh dien. Hal tersebut mengandung makna ganda. Jika kita
sukses, maka kita telah mendapatkan separuh kebaikan, namun jika gagal, kita
telah mendapatkan separuh keburukan.
Menikah pun menjadi sebuah mitsaqan ghalidza yang menjaga agar sepasang suami
istri tetap dalam dalam rel kebaikan dan ketakwaan.
2. Menikah
adalah Amanah Kaderisasi
Menikah adalah persatuan dua jiwa, yang nantinya
akan menjadi banyak jiwa. Menikah adalah tugas kaderisasi yang dibebankan
kepada umat manusia agar kelangsungan bumi tetap terjaga, “Dan sesungguhnya
Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka
isteri-isteri dan keturunan…” (QS. Ar-Ra’d/13: 38).
Manusia telah mendapat tugas kolektif sebagai
khilafah (pengelola, penguasa) bumi, maka, manusia juga harus mengupayakan
kaderisasi. Tak hanya sekadar memiliki keturunan, tetapi juga mendidik mereka
sesuai dengan fitrah dan potensinya.
Saat ini, negara-negara maju terbentur pada masalah
kependudukan yang pelik. Sebagaimana saya tulis di buku "Sayap-Sayap Mawaddah", Tiongkok, misalnya. Besarnya jumlah penduduk telah
membuat Tiongkok menerapkan kebijakan Keluarga Berencana yang sangat ketat,
yaitu dengan pembatasan keturunan hanya satu anak. Tidak terprediksi
sebelumnya, ternyata kebijakan itu menyebabkan masalah besar. Populasi angkatan
kerja semakin menurun dari tahun ke tahun. Kelangkaan tenaga kerja dapat
ditemukan di sejumlah kawasan di Cina, yang menyebabkan biaya tenaga kerja
menjadi mahal. Ma Jiantang, kepala Biro Statistik Nasional Tiongkok, dalam
konferensi pers Senin melaporkan sejumlah besar pemilik perusahaan melaporkan
kenaikan biaya tenaga kerja. Kenaikan tercatat antara 10% dan 15% sepanjang
tahun lalu.
Selain itu, masalah ‘penuaan penduduk’ juga menjadi
masalah pelik di negara tersebut. Jumlah manula di Tiongkok sekitar 185 juta
jiwa, atau sekitar 13% dari total penduduknya yang 1,3 Milyar . Di Tiongkok,
telah menjadi fenomena yang sering ditemui, bahwa sepasang suami-istri harus
merawat empat manula dalam rumahnya, yakni orang tua mereka masing-masing.
Sementara, di desa-desa, angkatan mudanya memilih bekerja di kota, dan desa-desa
pun hanya menyisakan para manula yang terkadang juga dibebani merawat
cucu-cucunya.
Di Jepang, angka fertilitas juga sangat rendah.
Jepang adalah negara dengan angka Total Fertility Rate (TFR) paling rendah,
yaitu hanya 1,39 pada tahun 2010. Total Fertility Rate (TFR) adalah angka yang
merepresentasikan rata-rata banyaknya anak yang dilahirkan seorang wanita dalam
kurun waktu seumur hidupnya. Rendahnya TFR berdampak pada rendahnya laju
pertambahan penduduk di Jepang. Pada tahun 1990-an, Jepang bahkan sempat
mengalami penurunan populasi penduduk. Rendahnya TFR ini menurut Masahiro
Yamada, peneliti dari Univesitas Ilmu dan Seni Tokyo, disebabkan karena
penurunan tingkat pernikahan di negara tersebut. Masalah tersebut tentu
menggelisahkan pemerintah Jepang, dan mereka berusaha mengantisipasinya dengan
berbagai cara.
3. Menikah adalah Sarana Menuju Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah
Simaklah perkataan Imam Ghazali
ini. “Pernikahan adalah penenang jiwa dan kesenangan kepada istri, yaitu
tatkala bersanding dengannya, memandang, dan bercanda. Pernikahan juga menentdramkan
hati dan menambah kekuatan untuk beribadah. Karena jiwa itu mudah jemu lalu
menghindari kebenaran. Sebab ijiwa berbeda dengan tabiatnya. Andaikata jiwa
terus menerus dibebani sesuatu yang kurang disukai, maka dia akan berteriak dan
lari. Namun jika sekali waktu dihibur dengan kesenangan, maka dia menjadi kuat
dan semangat.” (Imam Al-Ghazali).
Apa itu sakinah mawaddah wa rahmah?
Sakinah adalah “modal” yang Allah
berikan kepada orang yang menikah atas dasar iman dan keyakinan penuh tentang
kebesaran Allah SWT. Jika modal itu dikelola dengan baik, akan timbul mawaddah
dan rohmah.
Sakinah diambil dari frasa ‘litaskunu ilaiha’ yang terdapat dalam
surat Ar-Rum: 21. "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya (litaskunu ilaiha); dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa cinta (mawaddah) dan sayang (rohmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
Sakinah, dalam kamus
bahasa Indonesia, berarti kedamaian, ketentraman, kebahagiaan, ketenangan. Sedangkan
para ulama menyebut makna sakinah adalah “cenderung atau condong dan
merasa tenteram (kepada sesuatu).” Dalam bahasa yang lebih gampang, sakinah
adalah ‘tidak galau.’ Remaja sekarang, sering membahasakan aneka kegundahan,
kegelisahan, ketidakmantapan, dengan istilah galau. Jadi, dalam perspektif ini,
sakinah adalah lawan dari kata ‘galau’. Jika kita galau, kita akan goyah. Ada
angin barat, kita ikut ke barat. Ada angin timur, ikut ke timur. Tak punya
prinsip atau sandaran.
Abu al-Hasan al-Mawardy, dalam An-Nukat Wa
al-'Uyûn, menjelaskan tentang mawaddah
dan rohmah sebagaimana yang terdapat dalam surat Ar-Rum: 21 tersebut. Menurut
beliau, ada 4 pengertian:
1. Arti
Mawaddah adalah al-Mahabbah (kecintaan), adapun rahmah (rasa sayang) adalah
asy-Syafaqah (rasa kasihan).
2. Mawaddah
adalah al-Jimâ' (hubungan badan) dan rahmah adalah al-walad (anak).
3. Mawaddah
adalah mencintai (kecintaan terhadap) orang dewasa, dan rahmah adalah welas
asih atau kasih-sayang terhadap anak kecil (yang lebih muda).
4. Arti
keduanya adalah saling berkasih sayang di antara pasangan suami-isteri.
Sekilas melihat uraian Imam Al-Mawardy, definisi
mawaddah adalah semacam perasaan cinta yang bersifat fisik, passionate
(gairah), sebagaimana yang terjadi antara dua orang yang berlawanan jenis.
Rindu-dendam, mabuk cinta, merasa ingin selalu berdekatan dengan luapan
kegairahan, ini adalah mawaddah. Satu-satunya ekspresi mawaddah yang diizinkan,
dan bahkan bisa bernilai ibadah, adalah kepada suami atau istri kita, berupa
jimak atau hubungan seksual. Tanpa ikatan pernikahan, hubungan seks dihukumi
zina.
Jika mawaddah lebih bersifat fisik, rohmah adalah
sesuatu yang batiniah, berupa rasa kasih sayang. Perasaan seperti yang kita
rasakan ketika tengah bergaul dengan anak kecil. Kita mungkin senang memeluk
dan mencium si kecil, tetapi pelukan ciuman itu tentunya tanpa gairah. Pada
perasaan rohmah, yang ada adalah rasa sayang dan kegembiraan yang penuh welas
asih. Rasa rohmah itu juga yang kita rasakan ketika berinteraksi dengan
sahabat-sahabat kita, juga empati terhadap orang-orang yang tertindas. Bahkan,
ketika kita menyayangi kucing kita, ikan-ikan peliharaan, alam semesta dan
sebagainya, itu adalah bagian dari rohmah.
4. Menikah
adalah Tugas Perkembangan Manusia di Fase Dewasa Awal
Usia menikah, menurut Elizabeth Hurlock adalah salah satu
kondisi kritis yang dialami manusia yang menginjak usia dewasa awal. Saat
menikah, ada beberapa perubahan drastis yang dialami secara sekaligus dan
tiba-tiba oleh seseorang. Status dari seorang diri menjadi pasangan. Dari
lajang menjadi orang tua. Dari biasa mengejar karir di pekerjaan tanpa
penganggu, kini harus bisa menjaga ritme kerja dengan banyak amanah baru. Dari
anak seorang ibu dan ayah, menjadi anak dari ibu, ayah, ibu mertua dan ayah
mertua. Perubahan status yang multipel dan mendadak, bisa membuat seseorang
merasa syok dan memiliki gagal menentukan prioritas.
5. Menikah
adalah Sebagai Ajang Refleksi dan Pendewasaan Diri
Umar bin Khattab, bisa dikatakan bukanlah suami yang
beruntung. Dia memiliki istri yang pemarah dan tidak sabar. Namun, apakah Umar
kemudian menceraikan sang istri? Ternyata tidak. Umar menjadikan pernikahannya
sebagai upaya refleksi diri, apakah dia sudah cukup sabar dan dewasa di dalam
bersikap?
Beginilah perkataan Umar tentang istrinya, “Ada empat
alasan yang membuat aku sabar dan lembut menghadapi istriku, pertama, dialah
yang memasak makananku, kedua, dialah yang membuat, mengadoni dan memasakkan
rotiku, ketiga, dialah yang mencucikan
pakaianku, alasan keempat, dialah yang menyusui anak anakku.” (Sumber: Kitab
Nurul Abshar ditulis As Syablanji Al Mishri dan Kitab Al Minhaj yang ditulis
Hasyiyah Al Bijraini).
Jadi, untuk apa kita menikah? Tentunya untuk memenuhi kelima hal tersebut di atas.
1 komentar untuk "Mengapa Kita Harus Menikah?"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!