Widget HTML #1

Mengenang Kejayaan Fiksi Islami #3: Fenomena Ayat-Ayat Cinta

Cover buku AAC

Gambaran kejayaan fiksi Islami sudah saya bahas di bagian-bagian sebelumnya, ya Sobat. Meski tentu belum tuntas. Sebab, tentu butuh catatan panjang untuk membahas satu demi satu karya yang terlahir di periode tersebut. Apalagi, setelah generasi awal seperti Mbak Helvy Tiana Rosa, Maimon Herawati, Izzatul Jannah (Intan Savitri), Asma Nadia, Muttaqwiati, Novia Syahidah, Sakti Wibowo, Ali Muakhir, Galang Lufityanto, Aswi, Jazimah Al-Muhyi, Nurul F. Huda dan sebagainya, kemudian muncul fenomena Ayat-Ayat Cinta yang menggebrak jagad fiksi di Indonesia.

Tentu Sobat sekalian tahu siapa kan, penulis Ayat-Ayat Cinta ini? Ya, beliau adalah Habiburrahman el-Shirazy, atau yang biasa dipanggil 'Kang Abik'. Meski bukan generasi awal, keterlibatan Kang Abik di genre fiksi Islami sudah dimulai sejak awal tahun 2000-an. Saat itu, Kang Abik menjadi ketua Forum Lingkar Pena Mesir, dan telah menghasilkan beberapa karya pula, meski belum seterkenal karya-karya beliau yang lain. Seingat saya, saat itu beliau menggunakan nama Habiburrahman Saerozy. Saya belum sempat mengkonfirmasi mengapa Saerozy berubah jadi El-Shirazy.

Perubahan nama, biasalah... saya juga mengalami. Awal-awal saya menulis, nama pena saya Afifah Afra Amatullah. Karena dianggap terlalu panjang, oleh Mas Ali Muakhir (sosok berjasa yang membantu menerbitkan sebagian buku-buku saya, sekarang lebih dikenal sebagai penulis bacaan anak, dan menjadi salah satu anggota majelis pertimbangan FLP Pusat) dipelesetkan jadi Afifah Afra Amat-lelah (ih, jahatnyooo... wkkk), akhirnya saya ringkas jadi Afifah Afra saja. Sampai sekarang.

Ayat-Ayat Cinta sendiri, sebelumnya dimuat secara bersambung di koran Republika, lalu diterbitkan oleh Penerbit Republika pertama kali pada tahun 2004, setebal 418 halaman. Novel setebal itu, terbilang baru di genre fiksi Islami saat itu, yang biasanya hanya setebal 200-an halaman, paling banter 300-an halaman. Saat itu, saya juga belum sanggup nulis setebal itu. Baru di tahun 2007, saya mulai menulis novel yang agak tebal, yaitu De Winst, dilanjutkan De Liefde dan Da Conspiracao.

Selain ketebalan, setting yang diusung di novel Ayat-Ayat Cinta juga bisa dikatakan baru untuk genre fiksi Islami saat itu. Setting Mesir dieksplorasi dengan begitu detil, sangat dipahami, karena penulisnya sempat bertahun-tahun menetap di negeri para Anbiya tersebut. Ayat-Ayat Cinta berkisah tentang seorang pemuda asal Indonesia, Fahri, yang sedang belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo. Di sana, Fahri mengalami problematika cinta yang cukup rumit, karena dicintai oleh 4 gadis sekaligus, yaitu Maria Kirgiz, Noura Bahadur, Nurul Azkiya dan Aisha Greimas.

Poin ini bisa dikatakan sering menjadi sasaran kritik dari berbagai kritikus. Lelaki ganteng, sempurna, kuliah di Al-Azhar, dan dikagumi gadis-gadis yang tak hanya cantik, tapi supercantik, dan salah satunya sangat kaya: Aisha Greimas. Ya, sah-sah saja sih, namanya karya, pasti selalu mengundang kritik. Bahkan, ada lho, teori yang mengatakan bahwa ketika ada 1000 pembaca karya sastra, maka akan ada 1000 kritik dan tafsir tentang karya tersebut. Bagaimana dengan Ayat-Ayat Cinta yang terjual ratusan ribu eksemplar?

Lagipula, saya memahami pola pikir Kang Abik. Fiksi Islam, bagi beliau harus memunculkan sosok-sosok teladan yang akan menjadi panutan bagi para pembaca, khususnya yang masih muda-muda dan masih berproses dalam pembentukan kepribadiannya. Apalagi, Kang Abik adalah seorang ustadz. Beliau belajar agama di Al-Azhar. Ayat-Ayat Cinta merupakan cara beliau berdakwah kepada para pembaca-pembacanya.

Susah-susah gampang lho, menulis fiksi itu. Di sebuah forum yang saya ikuti, ada seorang penulis senior berkeluh-kesah, karena mendapat curhat dari seorang ibu. Anaknya jadi malas sekolah gara-gara membaca karyanya. Di novel yang beliau tulis, memang ada sosok pemuda remaja yang sedang labil, dan lebih senang melakukan petualangan-petualangan ketimbang sekolah.

Haha, repot kan, ya? Saya tahu banget, bahwa novel yang beliau sebut itu banyak mengajarkan kebaikan. Tetapi, kok yang nyantol di benak si pembaca justru suka bolosnya, barabe! Lagi pula, apa sih salah Fahri jika dianggap sangat sempurna? Nyatanya, sosok seperti itu bisa jadi memang ada di alam nyata ini. Barangkali...

Pemilihan judul 'Ayat-Ayat Cinta' juga menggambarkan misi kang Abik sendiri. Sebab sempat muncul novel yang menuai kecaman dunia Islam, yaitu 'Ayat-Ayat Setan' (Satanic Verses, 1989) yang ditulis Salman Rushdie, seorang penulis Inggris keturunan India. Kang Abik rupanya ingin menandingi Satanic Verses yang dilarang beredar di negara-negara Islam karena mendiskreditkan Islam tersebut.

Tetapi, kritik tersebut dijawab kok di novel berikutnya oleh Kang Abik. Jika di Ayat-Ayat Cinta (AAC) beliau menampilkan sosok Fahri yang perfect, di novel Ketika Cinta Bertasbih (KCB), beliau lebih membumi dengan menampilkan sosok Azzam, pemuda sederhana yang kuliah di Al-Azhar karena bea siswa murni. Azzam menanggung beban keluarga, karena merupakan anak tertua, sedangkan ayahnya telah tiada. Karena itu, selain kuliah, Azzam juga berjualan tempe dan bakso untuk menyambung hidup.

* * *

Saat bertemu dengan Kang Abik saat itu, beliau sempat bercerita, bahwa novel Ayat-Ayat Cinta beliau tulis saat kecelakaan dan selama sekitar 2 bulan harus beristirahat di rumah. Di zaman Kang Irfan Hidayatullah menjadi Ketua Umum FLP Pusat, saya dan Kang Abik sempat satu bidang di divisi kaderisasi FLP Pusat, di bawah koordinasi Mbak Rahmadiyanti Rusdi (saat itu redaktur majalah Annida).

Seingat saya (mohon koreksi kalau salah ya), pada awal terbitnya Ayat-Ayat Cinta belum terlalu fenomenal. Pas novel tersebut pertama kali terbit, saya membelinya di sebuah stand di event pameran buku Islami di Graha Wisata Niaga, Solo. Karea pemilik stand tersebut adalah teman saya sendiri, saya sempat bertanya-tanya penjualan AAC. "Ya lumayan, tapi masih biasa-biasa saja, Mbak Afra...." Saya kurang tahu apa ukuran 'biasa-biasa saja' itu. Dan jangan-jangan itu cuma data di Solo saja.

Namun sekitar setahun kemudian, yakni tahun 2005-2006, novel ini memang benar-benar meledak di pasaran. Hingga sekarang, setidaknya Ayat-Ayat Cinta sudah terjual hingga 500 ribu eksemplar, bahkan mungkin lebih. Terbayang ya, berapa royalti yang diterima Kang Abik? Alhamdulillah, barakallah. Jadi, penjualan novel ini bisa 5 kali lipat atau lebih dibanding fiksi-fiksi Islami yang berjaya di awal 2000-an seperti yang saya sebutkan di bagian awal tulisan ini. 


Ayat-Ayat Cinta, ternyata tak sekadar sukses di pasaran, tetapi juga menjadi model penulisan fiksi Islami saat itu. Tiba-tiba, bermunculan karya-karya sejenis, alias epigon yang meniru hampir semua unsur AAC. Mulai dari judul, cover, alur, setting dan tokoh. Saya ingat, Majalah Annida saat itu sampai menurunkan tulisan khusus menyorot fenomena tersebut dengan judul: Epigon, Episode yang Bikin Gondok.

Epigon adalah istilah yang bisa diterjemahkan sebagai orang-orang yang tidak mau melahirkan gagasan baru, tetapi hanya mengekor gagasan yang sudah ada dan terbukti diterima banyak orang. Epigon tidak sama dengan plagiator, tapi secara kreativitas ya beda-beda tipis sih. Secara hukum, epigon tidak bisa ditindak. Secara etika, ya enggak bagus, lah. Saya ingat, pernah dinasihati oleh Mas Joni Ariadinata untuk jangan pernah sekalipun menjadi epigon dalam berkarya. Merendahkan martabat, begitu kata belia. "Masak sih, sekelas Afra kok jadi epigon," kata beliau. Ih, saya jadi ge-er dengan pilihan kata beliau. Memang, siapa sih, Afra ini? Haha.

Contoh epigon, misalnya ada merk makanan Oreo, lalu bikin merk epigon Oreoreo, Goriorio, Orioo dll. Pokoknya mirip segala-galanya. Beberapa penerbit dan penulis, di era 2005-an, banyak sekali tergoda untuk menjadi epigon Ayat-Ayat Cinta. Dan memang lumayan juga mendulang cuan. Tapi, ya berhenti di situ aja, sih. Sekadar cuan. Sementara citra diri ambruk.

Poster Film AAC #1

Ayat-Ayat Cinta semakin booming sehingga memikat industri perfilman untuk mengangkat novel ini menjadi film. Film Ayat-Ayat Cinta disutradarai oleh Hanung Bramantyo, dengan produser Manoj Punjabi dan Dhamoo Punjabi dengan bendera MD Pictures. Beberapa nama kondang ikut memerani film tersebut, seperti Fedi Nuril (Fahri), Rianti Cartwright (Aisha), Carissa Putri (Maria), Zaskia Adya Mecca (Noura Bahadur) dan Melanie Putria (Nurul Azkiya). 

Seperti bukunya, film ini juga meledak di pasaran. Menurut data dari filmindonesia.or.id (diakses 16/12/2020), film yang tayang perdana pada 28 Februari 2008 ini mendapatkan 3.676.210 penonton. Merupakan film terlaris nomor dua tahun 2008 setelah Laskar Pelangi (4.719.453 penonton). Sementara, nomor 3 diduduki Tali Pocong Perawan dengan jarak yang cukup signifikan, yaitu 1.082.081 penonton. Sama dengan AAC, Laskar Pelangi juga diangkat dari sebuah novel Andrea Hirata yang best seller saat itu. Kapan-kapan saya bikin ulasannya juga ya, doakan semoga ada waktu dan kesempatan.

Sayangnya, ada beberapa kritik mengemuka terkait film AAC ini. Pertama, setting novel sangat berbeda dengan filmnya. Barangkali, karena keterbatasan anggaran, film ini bahkan tidak mengambil Mesir sebagai setting. Tentu banyak penonton yang kecewa, karena telanjur membayangkan setting Mesir yang detil dan indah, sebagaimana dieksplorasi dengan tuntas dan menjadi keunggulan dari novel AAC.

Rupanya hal ini juga menjadi catatan. Ketika menggarap film Ketika Cinta Bertasbih (KCB, novel Kang Abik Selanjutnya), SinemArt jor-joran mengeksplorasi setting Mesir. Film KCB juga sukses besar, sebagaimana film AAC. MD Pictures tak mau kalah. Saat memproduksi AAC 2, MD Pictures pun jor-joran dalam biaya produksi dengan mengambil lokasi syuting sesuai di novelnya, yaitu beberapa tempat seperti Gaza, Skotlandia, London, dan Budapest. 

Kritik kedua, pada film AAC 1, banyak sekali muatan-muatan dakwah yang tidak ditampilkan. Fokus cerita lebih pada kisah cinta segiempat antara Fahri dengan 4 gadis pemujanya. Ini pun dijawab di film-film selanjutnya yang diangkat dari novel-novel Kang Abik, di mana porsi dakwah diperbanyak. Di AAC 2 misalnya, toleransi beragama antara Fahri yang beragama Islam dengan tetangga-tetangganya yang beragama kristen serta Yahudi, tampak menonjol. Demikian juga perjuangan rakyat Gaza, yang menjadi pemantik alur dari film AAC 2.

Bagaimanapun, meskipun banyak kritik mengemuka Kang Abik memang fenomenal, karena telah membawa fiksi Islami kepada sebuah maqam yang tinggi. Jika di awal-awal, fiksi Islami terkesan eksklusif dan hanya menjadi konsumsi para aktivis kampus, pelajar dan pesantren, Kang Abik telah membuat fiksi Islami lebih inklusif dan bisa diakses oleh siapapun dengan mudah. Novel-novel Kang Abik ditumpuk secara eksklusif di toko-toko buku modern dan ber-AC, berjejer dengan novel-novel penulis top lainnya. Sebagai salah seorang pegiat fiksi Islami, dan juga mengenal cukup dekat Kang Abik dan keluarganya, saya merasa bangga.

Namun sayangnya, justru dengan melejitnya AAC dan novel-novel Kang Abik, justru fiksi Islami lainnya mengalami antiklimaks. Apa sebabnya? Kita bahas di tulisan selanjutnya ya...

Capek nih... ngopi dulu. Siapa mau ikutan?

1 komentar untuk "Mengenang Kejayaan Fiksi Islami #3: Fenomena Ayat-Ayat Cinta"

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!