Menikmati Pesona Kota Tua (Kota Lama) Di Semarang

Sepeda dengan keranjang bunga, kita boleh berfoto-foto dengan lattar tersebut (foto koleksi pribad)

Sabtu malam, tepatnya 3 April 2021, menjadi salah satu malam minggu istimewa bagi kami berdua: saya dan suami tercinta. Berdua saja (ah, tentunya dengan pengunjung lainnya, dong) kami menyusuri sebuah tempat yang berisi jajaran bangunan tua namun sangat istimewa. Kami berdua berjalan kaki di atas trotoar dengan paving blok sangat rapi, sesekali bergandengan tangan. Cihuuy! Tetapi, memang lebih banyak saling terpisah untuk jepret sana jepret sini, sih. Kami memang memiliki angle yang berbeda-beda jika ingin memotret sebuah objek. Saya lebih senang angle-angle yang sempit dan detil, beliau lebih senang memotret lanskap tempat secara luas.

Lokasi istimewa yang kami datangi malam itu, dikenal sebagai Kota Lama, atau Kota Tua. Meski kabarnya sudah direvitalitasi, ciri khas bangunan asli tidak dihilangkan. Bahkan, tulisan-tulisan asli dalam bahasa Belanda masih dipertahankan.

Sepanjang jalan, trotoar lebar begitu memanjakan pejalan kaki. Mobil memang harus parkir di tempat khusus, sehingga tidak memakan space di tepi jalan. Sementara, mobil yang lewat, harus rela bergerak lambat, karena jalan yang disisakan untuk kendaraan memang menjadi lebih sempit. Di beberapa tempat, ada lokasi yang cukup luas sebagai area publik. Cocok untuk nongkrong, atau sekadar duduk-duduk, menikmati malam yang indah.

Suasana di Kota Lama (koleksi pribadi)

Sinar lampu memancar dari tiang yang artistik, memendarkan cahaya temaram. Hm, serasa berada di Amsterdam. Gedung-gedung bergaya Belanda, berjajar. Kanan kiri banyak kedai kopi juga restoran bernuansa jadul. Sebagian resto menyediakan kursi-kursi di ruang terbuka, langsung menyatu dengan trotoar, sehinga sembari mencecap aneka jenis kopi, kita bisa larut dalam suasana yang tak biasa itu.

Ah, pokoknya recommended banger buat kamu yang ingin merasakan suasana tahun 1900an di zaman now. Barangkali ada yang ingin menjajal karakter Sekar Prembayun atau Rangga Puruhita di #tetralogidewinst hehe....

Saya berfoto di salah satu mulut gang di area Kota Lama (foto: koleksi pribadi)

Mungkin Pembaca semua penasaran, sebenarnya kami sedang berada di mana? Ah, sudah bisa ditebak, kan, ya? Sebagaimana tersebut di judul, lokasi tempat kami "bermalam minggu" berdua (di usia kepala empat, hehe), berada di kota Semarang. Tepatnya Kota Tua, atau sering disebut juga sebagai Kota Lama. Agak berbeda dengan suasana Kota Tua di Jakarta, yang didominasi gedung-gedung besar yang dahulunya adalah perkantoran, di Kota Lama Semarang, suasana lebih '"guyup". 

Bangunan besar menyatu dengan bangunan kecil, juga ada lorong-lorong kecil, yang dulunya mungkin sebuah perkampungan atau perumahan untuk orang-orang Eropa yang tinggal di Kota Semarang. Semuanya kini tertata rapi, bersih, tak ada sedikitpun sampah. Sehingga, menyusuri lorong-lorong pun terasa nyaman.

Kota Tua memang sudah berubah total saat ini. Dulu, saat saya masih kuliah di Undip Semarang (saya masuk tahun 1997), Kota Tua terlihat benar-benar renta, kumuh dan jorok. Saat OSPEK sebagai mahasiswa baru, saya sempat keluar masuk ke toko-toko kecil di kawasan tersebut untuk mencari kue kas Semarang, kue ganjel rel. Disebut ganjel rel, artinya pengganjal rel, karena memang bentuknya besar, mirip bantalan rel kereta api.

Jadi, ceritanya, senior saya menugasi para yunior untuk membawa kue ganjel rel di acara OSPEK. Saya dan beberapa teman seangkatan, mencoba mencari di berbagai tempat di Semarang, termasuk hingga Pasar Johar, tetapi tak bertemu. Kalaupun ada yang jual, tokonya sudah tutup. Wajar, saat itu sudah malam, sekitar jam 9 malam. 

Nah, oleh seseorang, kami diarahkan untuk mencari kue tersebut di Kota Tua, yang lokasinya memang berdekatan dengan Pasar Johar. Di sebuah kedai kecil yang dimiliki seorang Nyonya keturunan Tionghoa, kami pun akhirnya berhasil membeli beberapa potong ganjel rel yang benar-benar sebesar bantalan rel. Saat itu, jam menunjukkan angka 10 malam. Haha.... Untung masih ada angkot yang mengantar kami ke indekos kami di Tembalang. Bagaimana rasa kue tersebut? Percayakah Anda, saya bahkan tak sempat menggigitnya, karena saking padatnya agenda OSPEK saat itu. Kue legend itu entah akhirnya dimakan oleh siapa saat itu.

Kenangan saya tentang Kota Tua, masih sebuah lokasi yang kusam dan benar-benar renta. Nyatanya, ketika kembali kesana malam itu, kami dibuat ternganga. Kota Tua sudah bersolek sedemikian cantik. Kabarnya dana sebesar ratusan milyar memang diguyur untuk merevitalisasi kawasan tersebut. Saat kami datang, meski sebenarnya masih pandemi, kawasan Kota Tua cukup ramai, membuat kami sedikit was-was. Tetap jaga jarak sebisa mungkin, pakai masker, dan cuci tangan dong, ya....


SEJARAH KOTA LAMA

Kota Lama, meminjam foto detik.com yang lebih profesional (soalnya saat itu saya cuma bawa HP)

Kalau saya baca di berbagai referensi, Kota Lama Semarang merupakan pusat perniagaan, dan juga administrasi pemerintahan Hindia Belanda pada abad 19 dan 20. Menariknya, yang saat ini tersisa, ternyata hanya sekitar 50% saja dari bangunan Eropa saat itu. Sehingga bisa kita bayangkan, betapa megah dan indahnya Kota Lama di masanya, dahulu. 

Semarang sendiri, awalnya adalah sebuah kawasan di bawah kekuasaan Mataram. Akan tetapi, pada tahun 1705, Semarang diserahkan oleh Sultan Pakubuwono I (PB I) kepada VOC. Maka, sejak itu, VOC resmi menjadi penguasa di Semarang, dan mulai membangun kota tersebut dengan gaya Eropa. Mengapa Sultan PB I menyerahkan Semarang ke VOC? Pastinya nggak suka rela dong ya... ternyata, Semarang menjadi semacam "barang gadaian". Pendahulu Sultan PB I, Sultan Amangkurat II, ketika melawan Trunojoyo dari Madura, merasa kerepotan, karena itu meminta bantuan VOC. Atas jasa VOC, akhirnya perlawanan Trunojoyo berhasil dipadamkan, dan Trunojoyo dihukum mata.

Sultan Amangkurat II meninggal pada tahun 1703 dengan meninggalkan hutang sekitar 2,5 juta gulden kepada VOC. Sultan Amangkurat II digantikan Amangkurat III, namun penggantinya hanya bertahan sekitar setahun. Tahun 1704, Sultan PB I naik takhta di Mataram, dan ditagih hutang oleh VOC, yang akhirnya dilunasi dengan kota Semarang sebagai pembayaran. Ih, sadis, ya!

Setelah dikelola VOC, pemerintahan Kota Semarang dilanjutkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda, dan pada tahun 1906 dengan Stadblat Nomor 120 tahun 1906, Semarang dinyatakan sebagai sebuah gemeente, atau semacam kotamadya, kalau zaman sekarang.

Selama dua abad, pusat pemerintahan dan perdagangan Gemeente Semarang berada di lokasi yang luasnya sekitar 31 hektar tersebut. Di zaman Belanda, daerah tersebut lazim disebut sebagai Outstadt. Uniknya, bangunan-bangunan yang di sana, ternyata dibangun dengan arsitektur Eropa gaya 1700-an.

Karena benar-benar terlihat seperti kota zadul, ada yang menjuluki Kota Lama sebagai "kapsul waktu" di tengah modernitas kota Semarang yang memang sedang berkembang pesat sebagai kota metropolitan terbesar kelima di negeri ini setelah Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Ada juga yang menjulugi Kota Lama sebagai "little netherland" atau Belanda Kecil, karena memang sangat mirip dengan kondisi Belanda.

Saat ini, Kota Lama secara administratif berada di Jl. Letjen Suprapto, Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Jadi, memang berdekatan dengan lokasi Pelabuhan Tanjung Mas.

Bagi yang ingin melancong, merasakan nuansa Amsterdam zaman dahulu, bolehlah main-main ke sana. Tapi, sebaiknya malam, ya... kalau siang panasnya bukan main. Bawa juga laptopmu, lalu nongkrong di kafe, sambil mencecap kopi, dan mencoba menyusun proyek-proyek kreatifmu. Pasti banyak sekali ide yang muncul di sana.

Oya, di sekitar Kota Lama, banyak kok penginapan atau hotel dengan tarif lumayan terjangkau. Harga makanan, standard sajalah. Bagi yang tinggal di Solo atau Yogya, harga-harga di Semarang memang terasa lebih mahal. Tapi, bagi yang menetap di Jakarta atau Bandung, Semarang jelas lebih murah.

Tak percaya, coba saja! 

Posting Komentar untuk "Menikmati Pesona Kota Tua (Kota Lama) Di Semarang"