Widget HTML #1

Akankah Pandemi Segera Berlalu? (Surat Cinta Untuk Generasi Beta #2)

Sempat wisata ke Pantai Siung, Gunung Kidul

Catatan: tulisan ini adalah kelanjutan dari Surat Cinta Untuk Generasi Beta, "Beginilah Pandemi Coronavirus Itu, Cucuku...", yang saya tulis untuk cucu-cucuku atau siapa saja yang lahir di atas tahun 2025, yang barangkali tidak mengalami dahsyatnya pandemi.

* * *

Dear Cucuku, Generasi Beta, suratku yang pertama sudah dibacakah? Atau sudah dibaca berulang-ulang hingga merasa bosan? Ah, jangan bosan, ya Sayang. Sebab, apa yang kau baca itu, meski hanya sekadar catatan kecil, itu bagian dari kesejarahan. Sejarah kecil, namun mungkin sangat penting. Nah, kalau belum dibaca, ini Nenek kasih link tulisannya: Surat Cinta Untuk Generasi Beta, "Beginilah Pandemi Coronavirus Itu, Cucuku..."

Jika di surat pertama saya menceritakan suasana awal-awal pandemi, di surat kedua, saya ingin bercerita tentang sebuah suasana yang tak lagi terlalu mencekam. Sekolah-sekolah mulai dibuka, jalan-jalan mulai ramai, aktivitas ekonomi mulai bergeliat, dan sebagainya. Apakah ini berarti pandemi sudah reda? Entahlah, semoga saja tidak ada gelombang ketiga. Kami semua sudah sangat lelah.

Tetapi, sebelum ini, sekitar beberapa bulan silam, kami semua mengalami satu peristiwa yang benar-benar tak akan mungkin terlupakan. Kisah yang mengakumulasikan rasa takut, tertekan, sedih dan juga kesakitan. Nenek tak ingin membuka luka, hanya sekadar mengambil ibrah dari peristiwa-peristiwa tersebut. Juga untuk mengenangnya. Sebab, saat ini saya sudah mulai merasa berkurang daya ingat saya. Kepala sering terasa penuh, memori tiba-tiba melayang. Nenek khawatir dokumentasi peristiwa itu hilang begitu saja. Karena itu, selain memberikan informasi kepada kalian, sebenarnya nenek juga sedang mencoba merawat ingatan, dengan mencoba "mengikat peristiwa dengan menuliskannya."

* * *
Mei 2021 ...

Lebaran 1 Syawwal 1442 H jatuh pada 13-14 Mei 2021. Sama dengan lebaran tahun sebelumnya, kami sekeluarga tidak mudik. Tetapi, shalat tidak lagi berlangsung di garasi seperti tahun lalu. Kami shalat di depan masjid Al-Barakah, bersama warga setempat. Tidak di masjidnya, tetapi menutup jalan di depan masjid. Suasana berlangsung khidmat. 

Saat itu, suasana pandemi Covid rasa-rasanya mulai agak menurun. Jadi, sudah mulai ada pelonggaran, meski tetap belum boleh mudik. Meski tak boleh mudik, pemerintah membolehkan berwisata, dengan Protokol Kesehatan yang cukup ketat. Pondok Pesantren tempat Anis dan Rama pun sudah mulai masuk. Tanggal 23 Mei, mereka harus kembali ke Pondok. Karena itu, tanggal 19 Mei, kami bahkan sempat main ke Pantai Seruni, di Gunung Kidul. Bakda Subuh, kami berangkat menuju Gunung Kidul lewat Wonogiri. Sekitar jam 7, kami sudah sampai di pantai yang masih sangaaaat sepi, sehingga seolah-olah menjadi 'private beach.' Wah, seru banget!

Beberapa hari kemudian, Anis dan Rama pun diantar ke Pondok Pesantren. Setelah setahun lebih mereka sekolah daring di rumah, akhirnya mereka kembali ke pondok. Sementara, Ifan masih harus sekolah daring, demikian juga Ihan yang masih TK A saat itu.

* * *
Saya kira, semua akan berjalan baik-baik saja...

Tak disangka... ya Allah, bulan Juni, kasus naik kembali. Sangat pesat. Varian Delta masuk ke Indonesia dan mengamuk hebat. Satu per satu korban berjatuhan, dengan angka korban yang begitu besaaar (saat menuliskan ini, mata Nenekmu basah, Cucuku). Coba kalian lihat grafik ini, Sayang...


Luar biasa lonjakan kasusnya bukan? Hanya selang beberapa minggu setelah ayah dan ibu kalian, Anis dan Rama pulang pondok, tiba-tiba terjadi peningkatan luar biasa. Dalam sehari, bisa ratusan ribu kasus positif terkonfirmasi. Yang wafat pun tak lagi di kisaran angka ribuan, tapi ratusan ribu. Suara ambulance tiap hari terdengar. Berita kematian di mana-mana. Seperti terjadi sebuah teror luar biasa mencekam. Kematian yang ada pun begitu tragis. Banyak sekali terjadi dalam satu keluarga, lebih dari satu jiwa meninggal dalam waktu hampir bersamaan. 

Ada tetangga kita mengalami begitu juga. Dalam satu keluarga, ayah, kakek dan beberapa sepupu wafat karena terkena Covid-19. Tak terbayang, varian Delta mengamuk di Indonesia, dan sekitar 2 persen dari penderita, mengalami kematian. Hingga saat ini (19 Desember 2021), 144 ribu jiwa di Indonesia telah wafat, dari total kasus sekitar 4,26 juta. Kebanyakan kasus positif dan kematian terjadi antara bulan Juli, Agustus dan September 2021, bulan-bulan yang horor dan sangat mencekam.

* * *
Pada tanggal 16 Juli 2021, mendadak saya mendapat kabar mengejutkan. Anis, alias Syahidah, ibu dan tante kalian, ternyata telah masuk ruang isolasi sejak 13 Juli. SWAB Antigen Anis positif. Dia dikarantina bersama beberapa santri di guesthouse yang telah diubah jadi ruang karantina. Tentu saya kaget bukan main. Kami pun memutuskan untuk datang ke Pondok. Tetapi, aturan pondok tetap belum membolehkan kunjungan. Barang-barang yang kami bawa, harus dicek dan disemprot disinfektan. Kami boleh bertemu, tetapi dari jarak jauh. Anis berdiri di depan kamarnya di lantai 2, saya dan suami (kakekmu), ada di bawah, berjarak sekitar 10 meter.

Sebenarnya, saya sudah sangat ingin memeluk ibunya, Anis. Tetapi protokol kesehatan melarang. Kami semua sadar dengan hal itu. Ya, harus sangat ketat menjalankan prokes. Bermasker dobel (saat itu dianjurkan memakai masker dua lapis, karena virus varian Delta sangat mudah menyebar), selalu cuci tangan dan jaga jarak. Bosan banget? Iya. Tapi, bagaimana lagi?

Tak disangka, beberapa minggu setelah ibumu Anis sakit, di rumah satu per satu berjatuhan sakit pula. Setelah hari raya Idul Adha, bergantian di rumah jatuh sakit. Termasuk nenekmu ini. Swab menunjukkan nenek positif Covid-19. Kami sekeluarga dikarantina di rumah. Lumayan ada gejala, meski tidak parah. Kepala sakit, daerah sinus terasa seperti ditusuk-tusuk, dan sebagainya. Hingga sekarang, rasa sakit pada daerah sinus masih sering muncul, meski saya sudah lama sembuh dari Covid-19.

* * *
Tenda darurat untuk pasien Covid19, foto: kompas.com


Varian Delta benar-benar mengamuk di Indonesia. Rumah sakit kolaps. Banyak pasien tak bisa dilayani, sehingga banyak rumah sakit terpaksa mendirikan tenda-tenda di halaman. Tak hanya ruangan untuk merawat, rumah sakit juga kekurangan pasokan oksigen. Sampai-sampai banyak pasien Covid-19 meninggal karena sesak napas dan tidak mendapatkan oksigen.

Ada satu kejadian sedih yang menimpa keluarga besar kita juga. Salah seorang famili kita, Mbak Fahmi Rahma, istri keponakan nenekmu ini, meninggal karena Covid 19 saat baru 2 minggu melahirkan. Beliau terkena Covid19 saat hamil besar. Pasca bedah cesar, beliau wafat, karena paru-parunya telah memutih terserang virus maut ini. Rasanya sediiiih sekali. Padahal, putra beliau yang nomor satu, juga masih berusia 2,5 tahun saat itu. Saat ambulance yang membawa jenazah ibunya merapat ke rumah untuk disholatkan, sebelum dimakamkan dengan protokol Covid, Ayyash, anak Mbak Fahmi masih bermain-main riang, tidak menyadari bahwa ibunya telah wafat. Meski ibunya positif, ternyata si bayi alhamdulillah tidak negatif dan sehat-sehat saja.

Kisah tragis semacam Mbak Fahmi ini, banyak sekali terjadi. Bukan fiksi, tapi nyata adanya!

Banyak sekali anak-anak menjadi yatim, bahkan yatim piatu, ibu-ibu kehilangan suami, suami-suami kehilangan istri, karena pandemi, terkhusus di 3 bulan yang pekat itu: Juli, Agustus, September 2021.

* * *

Alhamdulillah, akhirnya vaksin Covid-19 berhasil ditemukan. Ada Sinovac, Moderna, Astra Zeneca, Pfizer dan sebagainya. Meski banyak kalangan bergembira, karena sejatinya vaksin sudah terbukti mampu menaklukkan pandemi, munculnya vaksin C19 ini sendiri memicu debat-debat sengit. Meski merupakan hasil riset yang ilmiah, dan sudah diujicobakan, ternyata masih banyak kalangan yang antivaksin. Kesedihan akibat korban-korban yang berjatuhan, masih harus ditambah dengan perasaan tertekan dan lelah yang luar biasa akibat serangan dari teman-teman yang tidak percaya dengan antivaksin.

Saya kurang tahu, mengapa banyak sekali orang-orang mengalami distrust atau rasa tak percaya kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas. Tetapi, yang mereka "hajar" bukan hanya otoritas, orang-orang yang ikut mengkampanyekan protokol kesehatan pun ikut jadi sasaran serangan. Di media sosial, tak sekali dua kali saya diserang, dimaki-maki dan dijelek-jelekkan hanya gara-gara kampanye prokes dan mengajak vaksin.

Apakah ini efek dari post truth? Saya pernah menuliskan fenomena post truth di artikel ini, silakan baca, ya!


Tetapi, sudahlah! Biarkan masing-masing dengan keyakinannya. Alhamdulillah, saya dan keluarga akhirnya memutuskan untuk vaksin. Ternyata, pihak-pihak yang pro vaksin jauh lebih banyak daripada yang menentang. Mungkin, hal itu juga yang membuat akhirnya pandemi mulai mereda.

Saat ini, bangsal-bangsal Covid-19 di RS-RS sudah kosong, atau kalau adapun, sudah sangat jarang. Tak lagi suara ambulance lalu lalang membawa korban-korban. Tak lagi banyak berita-berita kematian.

Akankah pandemi segera berlalu? Semoga. Semoga. Semoga. 

Tetapi... tetap harus waspada! Pandemi belum berakhir. Masih ada ancaman gelombang ketiga. Masih ada varian-varian baru, yang saat ini sedang rame, varian Omicron. Meskipun gejalanya, konon, ringan, jangan menyepelekan. Ledakan kasus di Indonesia, yang memakan korban jiwa hingga 144 ribu jiwa, banyak disebut-sebut berawal dari perilaku tidak antisipatif serta menyepelekan.

Lepas dari itu semua, kapanpun, ancaman pandemi tetap ada. Maka, setelah kamu membaca tulisan saya ini, semoga kamu semua bisa membaca dari sejarah, sehingga bisa melakukan antisipasi.

Salam dari nenekmu untuk generasi di zamanmu!

Posting Komentar untuk "Akankah Pandemi Segera Berlalu? (Surat Cinta Untuk Generasi Beta #2)"