Catatan Haji #10: Muzdalifah...

Suasana di Muzdalifah (dokumen pribadi)

Saya merasa sangat bersalah, meski sebenarnya tak ada yang menyalahkan. Apa pasal? Tatkala melihat liputan di media-media tentang jamaah Calhaj yang mulai diberangkatkan pada 7 Juli 2019 kemarin, mendadak saya ingat dengan PR yang belum selesai: Membuat catatan haji. Sudah setahun terbengkalai, Ya Rabb. 

Baiklah, PR harus segera saya lunasi! Catatan haji ini harus diselesaikan. Sekarang, kita masuk ke bagian 10, yaitu Muzdalifah.

.............

Datangnya waktu maghrib menandai bahwa waktu wukuf sudah selesai. Hari itu, 20 Agustus 2018, namun kalender hijriah sudah bergerak ke angka 10 Zulhijjah 1349. Habis wukuf, harusnya kami segera beranjak menuju Muzdalifah. Afdhalnya, shalat Maghrib dan Isya dijamak dan dilakukan di Muzdalifah.


Namun, bus-bus yang menjemput kami masih lalu lalang melakukan tugasnya mengantar jamaah lain. Antrean kami masih panjang. Maka, Pak Thontowi, pembimbing kami dari KBIH Aisyiah Solo, memutuskan untuk melakukan shalat Maghrib dijamak Isya di Arafah.

Usai shalat dan dilanjut makan malam, bus belum juga datang. Maka, sebagian dari kami memilih rebahan di dalam tenda. Ada yang berzikir dengan bantuan butiran-butiran tasbih, ada yang baca Al-Quran, ada pula yang terus berdoa. 

Sekitar jam 9, baru giliran kami naik bus tiba. Masih dengan menggunakan pakaian ihram, kami naik bus. Kami merasa bersyukur, karena tas perbekalan selama proses Armuzna (Arafah-Muzdalifah-Mina) tersimpan di tenda Mina sejak Tarwiyah. 


Jadi, kami hanya membawa tas kecil berisi perlengkapan wukuf dan mabit di Muzdalifah saja. Sementara, jamaah yang tidak ikut Sunnah Tarwiyah sehingga harus menginap di Arafah, terlihat agak repot membawa tas tenteng dan aneka perbekalan untuk berkemah di Mina nantinya.

Muzdalifah adalah sebuah padang pasir yang sangat luas, di antara gunung-gunung, merupakan daerah yang terbuka yang terletak di antara Mekkah dan Mina. Untuk melihat posisi daerah ini, silakan pelajari peta di bawah ini.

Peta perjalanan Haji (foto: slideshare.net)

Muzdalifah memiliki luas sekitar 12,25 km persegi. Kota Mekah yang ditandai dengan puncak menara Abraj Al Bait terlihat dari Muzdalifah. Jutaan orang berkumpul di Muzdalifah malam itu. Namun, tentu saja diatur sesuai maktabnya. Jadi, jamaah Indonesia tak akan tercampur dengan jamaah negara lain di sini.

Dengan menggelar matras atau tikar yang kami bawa, kami akan tinggal di sana semalam. Angin gurun bertiup, menghempas tubuh-tubuh kami yang terbalut kain ihram. Suasana remang, terasa begitu temaram.

Suasana di Muzdalifah (foto: dokumen pribadi)

Di Padang pasir ini, kami bermalam atau mabit, seraya mengumpulkan batu-batu yang akan digunakan saat lempar jumroh. Bagi yang nafar awal, yakni hanya 3 hari di Mina, butuh 7 + 21 = 21 batu kerikil alias 49 butir.

Kerikil sebanyak 7 butir untuk lempar jumroh di hari pertama (10 zulhijjah, hanya jumrah aqobah), 21 butir  untuk hari ke 2 (jumroh ula, wustho, aqobah), dan 21 butir di hari ke-3. Adapun yang nafar tsani, ditambah lagi 21 butir untuk lempar jumroh di hari ke-4. Jadi, total yang ikut nafar tsani membutuhkan 70 butir batu.

Apa beda nafar awal dan nafar tsani, nanti saya bahas khusus di bab selanjutnya, ya.

Mabid di Muzdalifah adalah salah satu kewajiban dalam berhaji. Tetapi, Muzdalifah tak sekadar tempat untuk mencari batu dan beristirahat. Sebab, batu juga bisa dikumpulkan di lokasi selanjutnya, yakni di Mina. Bahkan, ternyata panitia dari maktab juga ternyata telah mempersiapkan batu-batu itu dalam kantong kecil, dan dibagikan kepada jamaah. Jadi, stok kami berlebih. Nantinya, saat di lokasi Jamarat (tempat melempar jumroh), banyak sekali batu-batu berserakan di sana.

Lepas dari itu, Muzdalifah atau yang di Al Quran juga disebut sebagai Masy'aril Haram, adalah tempat di mana kita dianjurkan banyak berzikir, memuji kebesaran Allah SWT. 

"Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu." (QS. Al-Baqarah [2]: 198).

Saya bersama suami (foto: dokumen pribadi)

Berada di Muzdalifah, terbaring di atas tikar, terpapar debu-debu padang pasir, langsung berada di bawah langit, berpagar gunung-gunung, serta terlihat kota Mekah dengan lampu-lampu dari kejauhan, membawa saya kepada sebuah nuansa yang akan sulit saya lupakan seumur hidup. 

Jutaan orang terbaring di atas tanah, tak ada sekat antara si kaya dan si miskin, tak ada penanda bahwa dia raja atau rakyat jelata. Semua berbaur. Luar biasa. Angan saya terbang ke masa silam. Serasa menjadi bagian dari pasukan Rasulullah SAW yang tengah rehat di tengah gurun pasir. Tak terasa, tetesan air menghangati wajah.

Peristiwa di Muzdalifah ini memang paling lekat dengan masa lalu, sebab, suasana kanan dan kiri masih relatif asli, mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan zaman dahulu. Berbeda dengan Madinah, Mekah, dan Mina yang sudah banyak pembangunan. Melakukan napas tilas zaman kenabian, paling romantis ya di Muzdalifah ini.

Jadi, jika Anda berkesempatan naik haji, resapi dan hayati sebaik mungkin nuansa yang Anda jalani selama di Muzdalifah ini. 

Malam kian larut, beberapa jamaah mulai ada yang kepayahan. Ada yang mengeluh sakit perut, sakit kepala, hingga muntah-muntah. Saya bersyukur, dibekali beberapa paket obat-obatan dari sepasang suami istri sahabat kami, dr. Tri Wuryanti dan dr. Wahyu Dwi Atmoko, pemilik Klinik Sehati. Meski saya sehat-sehat saja, di sana obat-obatan tersebut sangat membantu para jamaah yang kebanyakan telah cukup sepuh. Suami yang berprofesi sebagai dokter, ikut bekerja membantu tim kesehatan yang harus bekerja keras malam itu.

Dini hari, sekitar jam 2 malam, kami berkemas. Matras-matras dan tikar digulung, peralatan dimasukkan tas. Kami harus bergerak menuju tepi jalan. Tak mudah, karena kami bergerak bersama lautan manusia. Ternyata, menunggu bus pun harus antre. Sampai subuh, dan kami shalat berjamaah, bus belum juga datang. Baru sekitar jam 5 pagi, kami mendapat jatah untuk naik bus.

Bus pun meluncur menuju Mina. Tubuh ini terasa begitu letih, mengantuk dan penat. 

9 komentar untuk "Catatan Haji #10: Muzdalifah..."

Comment Author Avatar
Mba, saya semangat membaca tulisan ini, sangat informatif dan ditulis dengan bahasa santai, saya jadi suka, gak terasa, dari catatan satu saya baca, hihihi
Comment Author Avatar
Terimakasih ya... di saat usia mulai "menua" dan daya ingat semakin berkurang, catatan kita sangat bermanfaat untuk membantu melacak peristiwa yang telah lewat.
Comment Author Avatar
Duh, membaca tulisan ini kudu menghapus ingatan tentang Muzdalifah, selebritas yang sudah beberapa kali cerah-nikah itu... Mudah-mudahan Allah masih memanjangkan usiaku untuk berkunjung ke Muzdalifah suatu hari nanti. Kalau sesuai planning, sekitar 10 tahun lagi
Comment Author Avatar
Sebel juga karena nama seleb itu Muzdalifah
Comment Author Avatar
pingin banget ke sana, saya terharu bacanya mba, langsung netes air mata sangking pingin banget ke sana. Makasi sharingnya mba, kenak dan membekas di hati
Comment Author Avatar
Semoga dipermudah, dan diperlancar
Comment Author Avatar
pengalaman sereligius haji memang sayang untuk ditulis ya Mbak. Selain bermanfaatn dan menginspirasi orang lain, juga sebagai alat penyimpan kenang2an bagi diri sendiri. Membaca part catatan haji yg ke-10 ini membuat sy semakin rindu Baitullah.
Comment Author Avatar
BAitullah memang selalu ngangeni, bikin rindu
Comment Author Avatar
do'akan kami juga ya mbak, mudah-mudahan Allah undang kami ke tanah suci.

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!